Garuda-News.ID Jakarta – Permintaan maaf Mendikbud setelah para peserta UNBK SMA tahun 2018 mengeluhkan sulitnya soal-soal UNBK, terutama mata uji matematika, sebagaimana dimuat berbagai media massa beberapa hari terakhir ini, mungkin saja dapat meredakan derasnya komentar pedas para siswa di berbagai media sosial, Minggu, 15/04.
Dalam rilis media yang dikirimkan, FSGI menyampaikan, bahwa pengakuan dan permintaan maaf tersebut tidaklah cukup tanpa disertai evaluasi menyeluruh atas soal-soal UNBK.
Pasca permintaan maaf Kemdikbud, FSGI justru terusik dengan cepatnya pihak Kemdikbud khususnya Kepala Puspendik yang mengakui, pemerintah memang menaikkan tingkat kesulitan soal UNBK tahun ini. Menurut Menteri, soal UNBK 2018 sudah menerapkan High Order Thinking Skills (HOTS) dan telah sesuai dengan kisi-kisi.
“Mendikbud boleh yakin karena para bawahannya pasti menyakinkan sudah sesuai kisi-kisi, namun para peserta UNBK tidak sekedar tahu kisi-kisi, mereka juga mengerjakan soalnya sendiri sehingga bisa merasakan dan menyimpulkan tingkat kesulitan soal yang tinggi.,”ujar Mansur, pengurus SGI Mataram yang juga guru SMA di Lombok Barat.
Menurut FSGI, setelah dipantau ternyata UNBK banyak menyisakan persoalan. Selain dari masalah teknis, pelaksanaan UNBK SMA/MA menyisakan persoalan non teknis yakni munculnya keluhan dari para siswa terkait soal Matematika yang dirasakan sangat sulit.
“Kesulitan para siswa menjawab soal soal UNBK Matematika tersebut diakibatkan oleh ketidaksamaan soal yang keluar dengan kisi-kisi soal dan try out yang sudah dilakukan berkali-kali sebelum UNBK.
Tentu hal ini membuat kondisi psikologis siswa terganggu. Para siswa merasa mereka sudah belajar optimal, sesuai kisi-kisi soal dan try out yang dipelajari berbulan-bulan, tapi soal yang keluar ternyata jauh dari perkiraan,” urai Satriwan Salim, Wakil Sekjen FSGI yang juga guru SMA di Jakarta.
Bantahan FSGI Soal Hots = Sulit
Mendikbud mengatakan masih banyak sekolah belum sinkron antara kemampuan guru dan standar nasional, termasuk dengan kisi-kisi yang diturunkan dan sudah disosialisasi kepada para guru melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
Dari pernyataan Mendikbud di atas ada beberapa poin penting yang ingin dikritisi oleh FSGI: Pertama, Sebagaimana yang kita pahami dalam konteks teori pendidikan, tingkatan keterampilan berpikir atau cognitive skills yang merupakan domain pengetahuan tersebut ada 6 tingkatan/jenjang, kemudian dikenal dengan Taksonomi Bloom (Benyamin S. Bloom) yang direvisi oleh Lorin Anderson (2001). Untuk memudahkan mengingatnya, dalam tataran praktis pendidikan dikenal kemudian istilah C-1 (Mengingat), C-2 (Memahami), C-3 (Menerapkan), C-4 (Menganalisis), C-5 Menilai/Mengevaluasi dan C-6 (mencipta/Kreasi). Untuk keterampilan berpikir C-1 sampai dengan C-3 disebut “keterampilan berpikir tingkat rendah” sedangkan C-4 sampai C-6 disebut “keterampilan berpikir tingkat tinggi”.
“Faktanya, kondisi saat ini para siswa kita masih berpikir di level tingkat rendah (Lower order thinking skill), sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai assessment internasional, seperti PISA dan TIMSS,” ujar Satriwan.
Kemudian, yang kedua, keterampilan berpikir HOTS tersebut mestinya bukan dititik beratkan (fokus) di akhir pembelajaran siswa/di soal ujian (ketika UNBK), melainkan bahwa berpikir tingkat tinggi (Higher order thinking skill) itu lebih ditunjukkan ke dalam proses pembelajaran selama 3 tahun itu. (*)
penulis/editor : Haykal
Komentar